tag:blogger.com,1999:blog-85381285883694617802024-02-06T23:37:23.859-08:00Penyair Tanah BumbuArsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/18266239886781897605noreply@blogger.comBlogger3125tag:blogger.com,1999:blog-8538128588369461780.post-80468553498271877602011-04-29T22:24:00.000-07:002011-04-29T22:31:55.845-07:00Muhammad Johansyah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1BT7vHzMa0-WA9vq1PQphcFiQLGxafhcUAfuA7cM1BsuJQy8I9j4ErzF1WSTueSCdC8vDYwCVVfxhct8IzsH309SSK9M2cqnU94RtyQ4rHLv9_Kbp77UM2Mcom7KrrjGBFn_a1pROX1U/s1600/Muhammad+Johansyah.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 180px; height: 180px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1BT7vHzMa0-WA9vq1PQphcFiQLGxafhcUAfuA7cM1BsuJQy8I9j4ErzF1WSTueSCdC8vDYwCVVfxhct8IzsH309SSK9M2cqnU94RtyQ4rHLv9_Kbp77UM2Mcom7KrrjGBFn_a1pROX1U/s200/Muhammad+Johansyah.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5601244294705869026" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;">Nama panggilan sehari-hari Johansyah, lahir di Murung Pudak, 13 September 1963.<br />Di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan Radio Swasta Gema Meratus Batulicin, disempatkan menulis puisi. Banyak puisi-puisinya yang masih cerai-berai akan dihimpun dalam antologi puisi.<br />Alamat di Jalan Raya Batulicin No. 03 RT. 13 Kecamatan Batulicin – Kabupaten Tanah Bumbu ( 72171 )<br />Telp / Hp 0813 4947 6102 Alamat email : rgm_fm@ymail.com<br /></div><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Takkan Bisa Jauh </span></span><br /><br />Setiap apa yang kau katakan,<br />Setiap apa yang kau kisahkan,<br />Setiap apa yang kau berikan,<br />menjadi kenangan manis,<br />Bagaimana aku bisa melupakanmu,<br />Takkan pernah bisa,<br />Meski telah kucoba,<br />Aku luluh dalam kenangan itu !<br /><br />Batulicin, 12-04-2011 ( Album Lembayung 7 )<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Senyap Lenyap</span></span><br /><br />Menyibak langit dengan warna senja,<br />Batas merah dan biru pecah,<br />Di sana hati menjelajah pesonamu yang menghilang,<br />Yang takkan sama hari ini,<br />Kemarin dan lusa,<br /><br />Menyibak langit dengan warna senja,<br />Merah yang meredup adalah jiwaku yang ringkih,<br />Pada garis bumi dan langit,<br />Memisahkan kerinduan,<br />Merenggangkan siang berganti malam,<br /><br />Menyibak langit dengan warna senja,<br />Biru yang tersisa samar mengendap – endap,<br />Mencari hasratku yang berselingkuh dengan asap batu,<br />Panas segenap rasa yang terus di baca,<br />Malam melonggarkan mantra di tepi jiwa,<br /><br />Langit malam dingin mematah – matah rindu,<br />Tanpa rasa aku berjalan,<br />Tiada yang menanti,<br />Tiada yang menemani,<br />Aku tidak lagi menemukan apa – apa … hanya sunyi yang tertawa,<br /><br />Batulicin, 12-04-2011 ( Album Lembayung 8 )<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Refleksi Segunung Harapan </span> </span><br />Huma di gunung,<br />Pecah – pecah tapak kaki perih luka,<br />Naik gunung turun gunung,<br />Meletakkan hidup di puncaknya,<br />Keseharian di lereng terjal,<br /><br />Dan malam menutup petang,<br />Merah batas langit setelah hujan reda,<br />Dari atap balai titik air di tempurung menggema bunyi sahdu,<br />Anak beranjak belia dengan singkong rebus di tangan,<br />Mulut berjejal menggumpal sambil bertanya,<br />Apang … Umang, mahalkah sekolah itu,<br />Kalau mahal kenapa kawan – kawanku bisa sekolah,<br />Kapan aku bisa sekolah, Apang !<br />Umang, besok yaaa,<br />Hingga tak habis semua beban tanya menancap di pembuluh rasa,<br />Hingga tak habis keinginannya terucap bocah tertidur pulas,<br />Beralas lantai bambu “ paring ricihan “<br />Lembab menusuk tulang,<br />Tidur mendekap celengan bambu isinya tak seberapa,<br />Recehan dan ribuan kertas kumal – kumal,<br />Pemberian ayah sepulang menjual lanting ke kota,<br />Lewati jeram ganas batu dan “ Penanjak “ menghela maut,<br />Dan hidup bagai terhempas ke batu – batu,<br />Arus deras jeram Loksado tetap bangkitkan semangat,<br />Nyali Apang dan Umang mu takkan terhenti, nak !<br />Negeri kita ini kaya, nak !<br />Kapan kita bisa menikmatinya,<br />Nenek moyang kaya raya di kuras segelintir orang,<br />Hanya huma di gunung yang kami punya,<br />Tapak kaki bernanah terantuk runcing batu setiap hari,<br /><br />Gunung adalah mata hati kami,<br />Jeram adalah urat nadi kami,<br />Angin adalah pesan kami,<br />Matahari adalah roh kami,<br />Dan kami tidak kaya raya,<br />Dan kami tidak beralas kaki,<br />Dan kami mengarungi jeram setiap hari,<br />Dan kami di belakang gunung – gunung dengan pendidikannya,<br />Dan kami anak – anak negeri,<br />Dan kami merayakan Hari Kartini seadanya,<br />Dan kami dengan baju kulit “ mandau “ turut berjuang,<br />Dan kami miris melihat ketimpangan,<br />Dan kami hanya bergantung pada harapan,<br />Dari Nenek moyang yang kaya raya,<br />Hidupilah negeri ini dengan rasa keadilan,<br />Hidupilah negeri ini dengan kepedulian,<br /><br />Dan tangan kami mencengkram batu “ Benteng Madang “<br />Nafas kami giris dalam tangisnya di setiap malam,<br />Negeri ini tinggal sedikit lagi dari garis,<br />Negeri ini tidak sampai memetik rindu yang teramat dalam,<br />Negeri ini pada sunyi yang sesaat,<br />Menggapai dan mencapai ujungnya kemerdekaan.<br /><br />Batulicin, 21-04-2011 ( Album Lembayung 17 dalam memperingati Hari Kartini )<br /><br />Footnote :<br />~ Apang dan Umang ( Bhs. Dayak Loksado ) : Ayah dan Ibu.<br />~ Paring ricihan ( Bhs. Banjar ) : Bambu yg di belah kecil untuk lantai rumah, dll.<br />~ Penanjak ( Bhs. Banjar ) : Bambu kecil dan panjang untuk tongkat penghela kapal / lanting.<br />~ Mandau ( Bhs. Banjar ) : Senjata khas Suku Dayak.<br />~ Benteng Madang : Benteng peninggal sejarah di daerah Kandangan Kab. Hulu Sungai Selatan.<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Telah Usai Pestamu </span></span><br /><br />Setelah pesta usai,<br />Relung hatiku terasa lengang,<br />Setelah berhari – hari lelah di pijaki ribuan kaki,<br />Di coret,<br />Di garuk,<br />Di gali,<br />Di hamburkan ke udara,<br />Bayangkan betapa wajahku tidak berupa apa – apa,<br />Berupa memar saja,<br />Berupa perih saja,<br />Berupa sakit yang tak terobati,<br />Rasakan seperti yang aku rasakan,<br />Dan aku tak bisa menolak,<br />Aku hanya sebuah hamparan pantai,<br />Yang ingin selalu indah di pandang,<br />Yang ingin selalu senang menerima setiap orang,<br />Yang ingin menjadi tuan rumah yang baik,<br />Tapi apa lacur dikata,<br />Aku porak poranda dengan bercak – bercak luka,<br />Mengnganga perih yang dalam,<br />Jika aku ingin mengeluh pada siapa,<br />Jika aku ingin meng “aduh” pada siapa,<br />Jika aku begini untuk siapa,<br /><br />Dan apabila kau datang lagi,<br />Tahun depan dengan cinta dan harapan,<br />Aku tetap menjadi hamparan pantai yang indah,<br />Aku hanya sebuah tempat untuk berbagi cerita,<br />Yang ingin selalu indah di pandang,<br />Yang ingin selalu senang menerima setiap orang,<br />Yang ingin menjadi tuan rumah yang baik,<br /><br />Datanglah lagi jika rindu mu telah mendesak kalbu,<br />Aku selalu setia menanti dengan rindang pohon mangroveku,<br />Akan kunyanyikan lagu – lagu kenangan,<br />Seperti setahun kemarin kita bertemu,<br />Dan aku punya waktu berhias diri secantik pertama berjumpa denganmu,<br />Yang selalu ingin bernyanyi di pucuk – pucuk cemara pantai,<br />Untukmu selamanya pantaiku anggun mengukir senyum.<br /><br />Batulicin, 24-04-2011<br />( Album Lembayung 21 Cinta yang tercecer sehabis Pesta Laut Mappanretasi )<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Pesona Sawangi </span></span><br /><br />Akar – akar bakau tenggelam air pasang keruh menguning,<br />Pulau Sawangi kerlip lampu kapal terombang – ambing,<br />Ada angin tersendat di muara sungai Batulicin,<br />Harum aroma batang – batang gaharu menebari senja,<br />Getah menetes di celah kabut malam merayapi tanah basah,<br />Batang – batang “ timbaran “ juntai ke air telaga,<br />Duri “ paikat “ menancap dedaunan kering meronta,<br />Gundah terselubung di hutan hijau pulau tak bertuan,<br /><br />Penantian malam serasa lama di seberang,<br />Tebing – tebing batu penuh lubang sarang,<br />Burung wallet terbang menghinggapi rumah alam,<br />Sepi senyap landai di batu – batu hitam pantai,<br />Keindahan malam ini menguras pikiranku,<br />Pulau tak berpenghuni dilintasi ketenangan ombak dan lautan,<br />Hanya getaran pesona mengetuk jiwa di kesendirian,<br />Sendiri di pulau Sawangi di atas pijakan papan pelabuhan kecil,<br /><br />Malam melabuhkan hati hening,<br />Malam mengajakku bersanding dengan harapan,<br />Lestarilah hingga kapanpun,<br />Esok aku akan datang memelukmu lagi,<br />Seperti rindu pada indahmu,<br />Pada ketegaranmu,<br />Pada keasrianmu,<br />Pada kearifan pelindungmu … Puang, penjaga hijau Pulau Sawangi !<br /><br />Batulicin, 29-04-2011 ( Album Lembayung 23 )<br /><br />Footnote :<br />~ Bakau = Pohon Mangrove.<br />~ Timbaran ( Bhs. Banjar ) = Tanaman perdu yang menjalar.<br />~ Paikat ( Bhs. Banjar ) = Rotan.<br />~ Pulau Sawangi = Adalah pulau kecil dalam wilayah Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Konon menurut cerita penduduk setempat, merupakan perwujudan se ekor ular sawa besar yang menyerupai naga. Alkisah pada zaman dahulu ular tersebut berkelahi dengan se ekor buaya. Karena kekuatan ular yang sangat tangguh, hingga buaya kalah dan terdampar di muara Sungai Batulicin. Dan akhirnya membentuk sebuah pulau yang di beri nama Sawangi.Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/18266239886781897605noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8538128588369461780.post-6008478810240578752010-03-29T04:19:00.000-07:002011-07-30T21:14:42.043-07:00Oka. Miharzha.S<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPN0OHw5kQJQZHUUwjbPswSWwOAPX4idbmwhX3tCZR61kXx_K3LIIXv6YTiyVff0TZWXJaFu7GpAJmKZrpUM2bjeEajqjzWA_P7r8FX2CNewwGE0B17S9-VYWOXxkmI9TShBfsggyatkk/s1600/foto+penulis.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 146px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPN0OHw5kQJQZHUUwjbPswSWwOAPX4idbmwhX3tCZR61kXx_K3LIIXv6YTiyVff0TZWXJaFu7GpAJmKZrpUM2bjeEajqjzWA_P7r8FX2CNewwGE0B17S9-VYWOXxkmI9TShBfsggyatkk/s200/foto+penulis.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5635364832006915554" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;">Oka. Miharzha.S terlahir di Birayang Kabupaten Hulu Sungai Tengah, tgl 6 Desember 1961, iya diberi nama oleh orang tuanya, AbdulKarim, iya menghabiskan masa pendidikannya dari TK sampai Perguruan Tinggi ( S1 dan S2 ) di Banjarmasin. Disamping sebagai penyair iya juga dikenal oleh warga Kalimantan Selatan sebagai Tokoh Mahasiswa/pemuda di Banjarmasin, Barabai, Pelaihari dan sekitarnya, sehingga mengantarkan iya sempat berkiprah di dunia politik, dan pernah menjadi , Ketua DPD KNPI TK II Tanah Laut, Ketua Palang Merah Indonesia Cabang Kabupaten Tanah Laut, Wakil Sekretaris DPD Golkar Tanah Laut dan Anggota DPRD Kabupaten Tanah Laut<br />Mulai menulis puisi sejak tahun 1978 ketika masih bersekolah di SPGN Banjarmasin, karya-karyanya pernah terbit/ dipublikasikan diberbagai media cetak daerah dan nasional, serta ikut dalam beberapa antologi puisi bersama penyair Banjarmasin, Hulu Sungai Tengah ( Barabai ), Tanah Laut ( Pelaihari ), Kalimantan dan Kalimantan Selatan.<br />Karirnya sebagai PNS di awali dari Guru Honorer pada SD, SMP, MTsn, SMU, di Banjarmasin, sejak Tahun 1988 iya diangkat sebagai PNS menjadi Guru SMEAN 1 Pelaihari/SMKN 1 Pelaihari, Kepala SMK Muhamadiyah Pelaihari dan Pengawas SLTP/SMU/SMK pada Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Laut. Sejak Tahun 2003 hijrah ke Kabupaten Tanah Bumbu, sebagai Kabag TU Bawasda, Kabag Humas Setda Tanbu, Sekretaris DPRD Tanbu, dan sekarang diberi kepercayaan oleh bupatinya sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanah Bumbu.ALAMAT RUMAH :<br />Jln Kupang RT 07 no 18 Sari Gadung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu.<br /></div><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Dalam Hujan di Bulan September</span></span><br /><br />Dalam hujan ada garis-garis hujan dan lembayung yang<br />menghelanya ke muara das<br />dan ke bibir sungai terpecah tempiasnya ke ujung atau<br />muara laut<br />keliuk garis batas cahaya dan bayang pepohonan yang<br />usang tandus gersqang lagi, mati<br />Kulihat ada orang-orang menangis mengangkat kotak<br />terasa kulkas<br />memeluk guling terasa istri dan kulihat rumah-rumah<br />hanyut<br />menghilang ditelan gelombang pasang bandang<br />di atas jembatan di sana juga tergolek tubuhku<br />dunia sekarang edan katanya<br />teruskah aku berjalan memasuki keedanan dan<br />kesengsaraan tanpa batas ini Tuhan ?<br />atau aku ikut menangis ngikek ketawa sendiri dalam kamar<br />aku tak rela dikatakan orgil apalagi sebagai wadam atau<br />homoseks<br />disana ada nama-nama<br />di Lauhil mahfudz katanya memang aku adalah anak penyair<br />anak karet, anak petani, anak gunung meratus yang telah<br />diturunkan dari rahim ibuku<br />rahim yang hijau,padi yang menguning,burung yang<br />berkicau,mega yang putih<br />menjalarkan mengalirkan air, sepoi angin penuh kedamaian<br />rambutku yang dulu hitam<br />kugerai sekarang helainya telah memutih Ya Allah<br />nomor-nomor kemaksiatan dosa dan penyesalan belum<br />membawaku<br />kepintu taubat hingga dalam hari-hari di batas garis-garis<br />hujan di bulan September<br />orang-orang masih berteduh di bawah bendera-bendera<br />yang mengatakan<br />akulah pejuang,akulah pejuang,akulah pejuang, akulah<br />yang akan memenangkan di republik ini<br />Sesekali aku meludah,sesekali aku merenung, sesekali aku<br />seakan merengek tapi aku tidak gila menjadi anak<br />pengemis<br />aku memang adalahy anak karet<br />mulut dan gigikumerasa berdarah putih odol tianshi<br />katanya tak akan berbau lagi<br />dan bau itu adalah baunya surga yang lebih dulu kuraih<br />tapi orang pada bilang tubuhku bau sekali<br />menghilangkan keharuman Ya Allah, aku takut mati<br /><br />Aku, tapi tidak takut mati asalkan aku direbahkan<br />disurgaMu<br />tubuhku saat ini memang mati, kering dirundung ujung<br />napas-napasku di sana<br />bola-bola mata hilang menjelma menjadi bulu-bulu roma<br />merinding<br />bergetar seperti meninggalkan bekas rasa sakit<br />meruntuhkan rohku di akhir bianglala malaikat maut<br /><br />Kedalam hujan teruslah aku mengayuh bahteraku<br />angin mencubit pinggangku, rambutku dikusutNya,<br />mataku dinanarkanNya<br />telingaku sedikit ditulikanNya, kepalaku menjadi kepala KPU<br />kepala penuh uban<br />kata Presiden Republik Mimpi<br />tempias<br />tempais<br />tempias air hujan masuk ke kamarku<br />aku tak bisa bersetubuh dengan selimutku paling asli<br />aku tak akan berselingkuh dengan selimut-selimut lain<br />Tuhan<br />selimutku memang asli suci<br />cantik<br /><br />Diujung hari-hari ini, aku berbisik karena senja menggiring<br />bayang-bayang ke batas pengadilan Tuhan<br />gigiku semakin ompong, rambutku botak disamping putih<br />cahaya telah berbias spektrumnya tak keruan dan bayang<br />merebut keseberang<br />apakah aku akan datang<br />keneraka<br />Dalam hujan ini ternyata ada apa ?<br />Tetes takdir merenggut nyawa<br />Dalam hujan ini tidak hanya rahmat<br />tapi juga sampai malapetaka<br />apakah di dalam dosaku ada pahala Ya Allah<br />ingin kereguk beranjak malam<br />apakah dalam puasaku<br />ada puasa lain,tidak hanya lapar dan haus ku peroleh<br />Tuhan ?<br />Karena senja adalah duka dan laraku<br />jemputlah aku Kasih<br />satukan di tanah kelahiran birayang<br /><br />Batulicin, 27 September 2008<br /><br /><br />RINDUKU MURAKATAKU<br /><br /> Lihatlah kasih aku rindu disini<br /> masih sangat mencintaimu<br /> walau telah menjauh dari pelukanmu<br /> kucoba tetap setia seperti dulu<br /> aku tak mengerti<br /> apakah karena<br /> kau tetap tegar menanti, aku kembali<br /> dan kedatanganku pasti<br /> di usia yang hampir setengah abad ini<br /><br /> Lihatlah kasih murakataku<br /> kalau kau tak mau<br /> kutinggal pergi lagi<br /> raihlah cintaku, tanpa ragu-ragu<br /> betapa indahnya, kasih<br /> Murakataku, diakhir perjalanan hidup kita ini<br /> semua telah rampung, tak perlu ada penyesalan<br /> rinduku, murakataku, telah menyatu<br /> <br /> Birayang, juni 2011.<br /><br /><br /> KAU BUKAN SEKEDAR PERSINGGAHAN<br /><br /> Kaukah yang mengirim sms rindu itu, yang mengusik lelahku<br /> ya, Insya Allah kubaca dan kubalas<br /> rindumu dan rinduku, saling bertumpu<br /> tapi mengapa kau tak mengatakan sejujurnya<br /> mengajak rujuk denganku<br /> memberi kesempatan padaku,lebih mencintai<br /> mengabdi, berbakti, kepada yang pantas kuterima<br /> kalau memang saling membutuhkan<br /> mengapa ini harus terjadi<br /> izinkan aku bersandar didadamu<br /> kau bukan sekedar persinggahan<br /> yang direkayasa<br /> Hantakan, juni 2011<br /><br /><br />KIDUNG ROH KIDUNG ILLAHIAH<br /><br />Baiklah kutinggalkan saja kisah-kisah masa lalu, suatu hari nanti akan kulepas segala luka sembilu, dengan kekawanan mengembarakan arakan perasaan, harapan, bahkan mimpi kesempurnaan<br />Ketika orang-orang memilih jati diri, lewati waktu, hari, minggu, bulan dan tahunan<br />menghayati curhatan perbedaan takaran persamaan di ujung jari dan bibir mulut,<br />kusapa iya, dengan cinta<br />rongga dadaku jadi menyeruak, mengendapkan tanda tanya, menyentak tanganku<br />tinggalkan potret lama itu<br />Kawanku berkhotbah di atas mimbar bulu angsa, ikut-ikutan berjubah seperti dai kondang,<br />lengangkan kenistaan, semuanya memutih, lalu kusahut dalam hati : “ Ahmadur Rasullullah, Muhammadur Rasullullah “, berkali-kali sebanyak tiga puluh lima kali<br />khotbahnya ada roh yang tak tahu dari mana asalnya, tampaknya serba mungkin ,roh itu berkidung berdimensi ganda, bercahaya hitam dan putih sama-sama kuat mencuatkan ilham, keramahan, kesyahduan menggiring aku menemani hari-hari mencabuti dosa-dosa kejahatanku dari atas mimbar bulu angsa<br />Jemaah beringsut pelan meninggalkan mesjid, sepakat memerangi ketidakpastian<br />mereka bernyanyi kidung-kidung roh menata bilik-bilik jihad dalam kehidupan beragam ladang pengabdian, padahal masih banyak dalil-dalil bijak lain yang pantas disapa, direguk dalam-dalam, sebagai maklumat jatuh cintanya pada kidung roh kidung illahiah<br />Aku dan kekawananku, sepakat pula melaksanakan pesta pernikahan sebab kami sama-sama mencintai, terlanjur kasmaran sembari beritikaf<br />Aku ajak mereka singgah di rumah cinta, tak perduli dengan kidung-kidung lain yang menjauh dari hidayahNya<br />Memang tak perlu keluh-kesah lagi, bercintalah, mari mabuk bercinta sampai larut usia<br />Pada setiap malam, hingga dini hari<br />siapa tahu kelak lumpur-lumpur dosa yang berkarat terkikis semua<br />biarlah aku hanya memperoleh hadiah sebuah rumah minimalis<br />bercahaya terang-benderang terlihat dari balik daun jendelanya<br />masih kudengar lantangnya kidung roh kidung illahiah, yang lebih lembut dan manusiawi<br /><br /> Batulicin, rajab 1432 HArsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/18266239886781897605noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8538128588369461780.post-10244725867406034212010-03-28T22:09:00.000-07:002010-03-28T22:31:10.573-07:00Tato A.Setyawan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjB0m1KDT0dO_VqRFQ4JKPSw_Ed8ro39QtyvLrSUpbrnukte1VNcIX_2rkFrINePrdTn9uOgtPpAN3_AKs6a-cfg2JkB2GPGdmEB2iRKWXvIVcibEK9yYiFRMGB68x40qZyJs3C_9d5_80/s1600/Tato+Styawan+dari+Tanbu.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 150px; height: 172px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjB0m1KDT0dO_VqRFQ4JKPSw_Ed8ro39QtyvLrSUpbrnukte1VNcIX_2rkFrINePrdTn9uOgtPpAN3_AKs6a-cfg2JkB2GPGdmEB2iRKWXvIVcibEK9yYiFRMGB68x40qZyJs3C_9d5_80/s320/Tato+Styawan+dari+Tanbu.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5453920591433665282" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;"><br /><br />Lahir di kota Malang (Jatim), 14 Agustus 1974. Karya puisinya banyak dipublikasikan di facebook dan di situs Lintasan Sastra (http://arsyadindradi.net) Dan semua karyanya akan disiapkan menjadi sebuah antologi.<br />Alamat sekarang Jalan Transmigrasi Km 2 Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalsel.<br /></div>Puisi-puisinya antara lain :<br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >menuju pulaumu, irine</span><br /><br />berpuluh kayuhku telah patah<br />badai menghantam, terjang<br />seperti itulah kecintaanku padamu irine<br />seperti sampan yang pecah buritannya<br />terseok, terpontangpanting, terkapar di batu karang<br /><br />tapi pelayaran tak boleh surut!<br />layar telah terkembang, samudera adalah pengembaraanku<br />pasti ku arungi luasnya buihbuih<br />tak akan merapat ke dermaga<br />sebab pulaumu belum kugenggam<br /><br />jika lantas ombak menggulung<br />membadai, menggelora segala musim<br />gelegar gulungan angin<br />tercabik layarku, rubuh tiang utama<br />;bukankah tanganku masih kokoh?<br />kaki jua masih pada pijakan<br />tak sudi diri menyerah, dan payah<br />tidak jua pada arah angin yang menggila<br /><br />;tidak! aku bukan nahkoda yang hanya mengenal paritparit<br />telah kulayari ribuan mil samudera cinta periperi<br />telah ku lewati bergununggunung badai asmara para dewa<br />hingga laut pun mengata, akulah nahkoda sampan asmara yang gila, yang menghantam ombak, badai, topan, angin<br />;aku tak mengenal kandas, sebab aku jua titisan Poseidon<br /><br />tapi mengapa,<br />menuju pulaumu irine<br />ialah pelayaran yang menggelisahkan<br />sebab kayuhku senantiasa patah<br /><br />;bagi Irine Olivia<br />batulicin, 21 maret 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >perempuan bergaun ungu dengan renda jingga di kerahnya</span><br /><br />perempuan bergaun ungu dengan renda jingga di kerahnya<br />siapa jua yang telah melukismu tengah malam lalu,<br />sedang kau tetap menjadi kupukupu, meliuki senja, malam juga siang<br />sembari mengunyah senyum selayak melati yang bertumpuktumpuk<br />;dimanakah aku bisa menjumputi rinduku padamu?<br /><br />gerimispun bercerita perihal angin yang menerpa gerai rambut hitammu<br />itupula yang lantas membuatku membimbang, gersang<br />mencarimu diantara badai dan ombak yang padahal hanya ada di mimpiku<br />bahkan nyawamu, telah pula menjadikan nafasku terus menuntut<br />merengekrengek, menghiba peluhmu yang wangi<br />hingga wajahmu kujadikan piring bagi rinduku<br /><br />pernah suatu ketika, ku gapaigapai aliran sungai<br />yang di ujungnya engkau membasuh hatimu<br />membasahi seluruh raga jantungmu, peluhmu, darahmu, nafasmu yang lembut<br />juga daundaun yang sudah berani menyentuh tengkukmu yang putih<br />;ingin ku rengkuhi semua, kulumat buat menebus asmaraku padamu<br /><br />engkau perempuan bergaun ungu dengan renda jingga di kerahnya<br />bagaimana aku mempercayai kerinduanku yang meluasluas<br />jika engkau tak juga mengirimiku selarik saja sajak<br />bukankah itu, aksara kasihmu yang kelak bisa kumengerti<br />karna, taukah engkau<br />;aku sungguh telah mencemburui gaun ungu dengan renda jingga di kerahmu, yang senantiasa mencumbu dan memeluk tubuhmu sepanjang hidupku<br /><br />batulicin, 9 maret 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >kapan kita menemui kita</span><br /><br />entah seperti apa,<br />aku ini mengelana<br />menjelajahi semua<br />mencarimu, bayangan<br /><br />di semua lembah<br />sampailah jua disini<br />menghitungi rindu<br />mengurai pilu<br />berharap temu<br /><br />di padang ini,<br />tungguku sendu<br />meramu lara<br />menjadi pusara cinta<br />;yang merana, tiadatara<br /><br />;kapan kita<br />menemui kita<br /><br />batulicin, 7 maret 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >kutaburi cinta dan asmara di kotamu yang murung</span><br /><br />inilah riwayatku,<br />mengelana dari negeri ke negeri<br />menghitungi jalanan manusia<br />membaca semua suka, semua duka<br />mengenali tangisan dan asmara perawan<br />mengartikan tepukan dada para perjaka<br /><br />inilah sebuah kota yang akan kuriwayatkan kepadamu<br />kutemui banyak wajah yang menduka<br />murung sebab hujan lama tak menyapa, padipadi sirna tercuri marabahaya<br />sungguh inilah riwayat perjalananku yang pilu, kawan<br /><br />aku menemui banyak kanakkanak dengan perut menggelembung<br />didalamnya katanya, ribuan cacing tengah bergembira bernyanyi tra la la<br />dan wajah nagara seperti mau berhenti bekerja sebab hujan masih enggan menyapa<br /><br />taukah kau kawan,<br />aku juga mendapati rumahrumah sudah tak lagi berjendela<br />pintupintu dibiarkan terbuka<br />seorang tua kulihat melata<br />ia merintih, mengucap katakata<br />ini negeri dalam kota, tapi aku tak punya mata hingga periukku bagai kosakata yang tak mengenal aksara, bagaimana menjawab derita, semua adalah nestapa, katanya<br /><br />kurengkuh tubuh orang tua itu<br />ditepisnya sukmaku, dan tibatiba diludahinya berjuta laraku<br />kau jangan berkatakata, katanya<br />sebab kami inilah karma dari penjara cinta dan asmara fana<br />maka pergi saja! jangan dekati kota ini, sebab kami karma, kamilah kemalangan yang akan merenggutmu, katanya<br /><br />bagaimana aku bisa mengikuti deritanya<br />sedang ia enggan kugapai, ia selalu meronta dan terus berkatakata<br />ia tak mau disapa dengan cinta<br />ia marah dengan kata asmara<br />durjana semua, laknat segala bahagia, katanya dengan murka<br /><br />lalu dengan helaan nafas terkhir aku berlalu<br />ku gapai jalanan yang kosong<br />ku paksa jantung terus berdegup<br />ku buang selarik kata pada batubatu dihamparan yang jauh<br />lalu ku lepas sebutir mutiara<br />ditanganku<br />kutitipkan sebuah janji di cahayanya<br />lantas diamdiam kukatakan pada angin dihadapanku<br />"besok saat hatiku telah suci akan kutaburi cinta dan asmara di kotamu yang murung".<br /><br />batulicin, 4 maret 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >sepasang kekasih menjala rembulan </span><br /><br />di dermaga kayu yang tua<br />sepasang kekasih menjala rembulan<br />susah payah digapaigapai rembulan<br />selalu tangan hanya sampai pada pundak<br />lantas mata, menatap terus dan kemudian menunduk<br /><br />di atas sana mereka ingin menggambar istana<br />dengan pagar yang ditumbuhi melati<br />tapi seperti mimpi<br />seperti jauh dan semakin lekang tatapan<br /><br />mereka itulah perajut awan<br />memintal batas pantai hingga pagi tiba<br />memaksa ombak agar tidak berdebur lagi<br />tapi buihbuih enggan mencium karang<br /><br />sepasang kekasih itu terus melempar jala<br />sampai peluh tiada mengalir<br />membiar saja malam berakhir<br />lalu rembulan sembunyi<br /><br />di dermaga kayu yang tua<br />sepasang kekasih terus menunggu rembulan<br />buat di jala<br />buat menjaga cinta, merawat setia<br /><br />batulicin, 22 februari 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >lakilaki dan ilalang </span><br /><br />lakilaki itu<br />tangannya menggenggam ilalang<br /><br />matanya menatap<br />menuju puncak gedung<br />di kibaskannya ilalang<br />lalu dihamparkan di tanah<br />dianyamnya menyerupai lambang negara<br />serupa burung rajawali<br /><br />pada ekornya<br />dititipkannya suara<br />“wahai negara, kapan kau tak tidur, bangun! bangun! matahari telah tinggi”, katanya<br /><br />puncak gedung<br />masih di tatapnya<br />dengan jantunnya<br />dengan jiwanya<br />biar tak rubuh, katanya<br /><br />lakilaki itu berdiri<br />diambilnya tifa di kakinya<br />lantas tabuh<br />menabuh tifa ia<br />menari ia<br />berteriak ia<br />bangun!<br />bangun!<br />bangun!<br />matahari telah tinggi!<br /><br />batulicin, 24 februari 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >janjiku </span><br /><br />janjiku<br />di angin<br /><br />ku kecup desir<br />hingga birahi jatuh<br />lunglai, patuh<br /><br />kejar engkau<br />lalu kejer<br />seperti tangis bayi<br />sembuyi<br />di rimbun pasir<br />latas kita<br />terdampar di nagara<br /><br />kita<br />menggirang<br />nikmat<br />lezat<br />pekat<br />jilat<br />:besok lagi, katamu<br /><br />batulicin, 10 februari 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >negeri yang hangus </span><br /><br />sebab jalan mulai senyap<br />entah mengapa tanah menjadi lembab<br />yang lantas suarasuara dari kejauhan seperti menyergap<br />menelantarkan daundaun yang terserakkan digundukan batu<br />menyelinap ia, angin menembusi rantingranting di lembah<br /><br />dua orang bercengkerama perihal negeri yang hangus dibakar waktu<br />jarijemari ia menghitungi serakan tapaktapak negeri yang menua tanpa sebab<br />lalu dua orang itu menyulut rokok dan lantas diselipkannya dibibir yang kering<br />dihisap asap dikepulkan ia ke angkasa<br />membumbung tinggi menerobos ruangruang sempit di belantara yang aneh<br /><br />dibukanya kotak misteri itu, dua orang duduk dibawah gapura negeri yang hangus, hitam!<br />dipilahpilah warna yang masih bercorak keabadian juga bergaris putih menyalanyala<br />ditempatkan ia pada bungkusan bekas jarit wanita tua yang tidak pernah dikenal oleh sesiapa jua, pun oleh negeri yang hangus sebab dibakar waktu<br />buat entah apa yang kemudian diremasremas agar jejak tak nampak tapi beraroma pahit<br /><br />sebab jalan mulai senyap, entah mengapa tanah menjadi lembab<br />dua orang duduk dibawah gapura, bercengkerama ia perihal negeri yang hangus dibakar waktu…<br /><br />batulicin, 3 februari 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >negeriku aneh</span><br /><br />negeriku aneh,<br />mobilmobil berseliweran,<br />berkejaran kian kemari menuju jurang<br />jalanjalan penuh sesak,<br />trotoar menonton orangorang<br />pemulung memunguti gambar artis telanjang<br /><br />negeriku lucu,<br />tiang listrik mencumbui drainase<br />bendera warna warni berdesakdesakan,<br />saling berebut nafas<br />berebut gula gula<br />berebut rumput<br />mantra mantra dimuntahkan,<br />anjing anjing berebut kain tissu<br /><br />negeriku dagelan,<br />politisi<br />polisi<br />priayi<br />menteri<br />main petak umpet<br />hakim bersembunyi diketiak jaksa<br /><br />negeriku guyonan,<br />pejabat membakar kemenyan<br />pengamat menggerutu, mulut disumpal gombal<br />meja judi menjadi tumbal<br />perawan menjadi sundal<br /><br />negeriku fatamorgana,<br />gedung gedung mencakari langit<br />panti pijat adalah syurga birahi<br />salon salon dijejali wanita wanita gembro<br />sungai sungai mengubur diri sendiri<br /><br />negeriku keprihatinan,<br />anak kecil,<br />sepasang jompo,<br />bayi bayi<br />; jadi mata elang, karena hidup ada dipundak<br /><br />batulicin, 19 januari 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >senggama kata-kata</span><br /><br />senggama,<br />kata-kataku<br />kata-katamu jua<br />kata-kata kita<br /><br />senggama,<br />komaku<br />titikmu<br />kita bersenggama kata<br /><br />senggama,<br />bincanganku<br />melumat ucapmu<br />kita menggelinjangkan kata-kata<br /><br />senggama,<br />tanyaku<br />serumu rayu merayu<br />tanyaku merayu serumu<br /><br />senggama,<br />kita<br />kamu<br />kita bersenggama kata-kata<br /><br />senggama,<br />katamu jua<br />kataku jua<br />senggama kita kata-kata<br /><br />Batulicin, 11 januari 2010<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >sajak pertemuan</span><br /><br />;bagi, arsyad indradi<br /><br />tatap kita<br />temu kita<br />sapa kita<br />disebuah kerumunan yang sepi<br />kusapa dirimu dengan tatap kita sapa kita<br /><br />jari kita<br />angka-angka kita<br />pijakan kita<br />tersebut sama-sama<br />angka kita pijakan kita<br /><br />jarak kita<br />langkah kita<br />temu kita, lagi<br />melayang antara kau disana<br />antara aku disini<br /><br />tatap kita<br />temu kita<br />sapa kita<br />hanya pada jari kita<br /><br />batulicin, 19 januari 2010<br /><br /><div style="text-align: justify;">terinspirasi ; sebuah pertemuan yg tak terduga antara saya dan pak arsyad indradi disebuah warnet di loktabat b.baru beberapa tahun yg lalu. saya lupa tahunnya..waktu itu saya masih berprofesi sbg jurnalis Banjarmasin post. kami saling bertukar no ponsel dan bla..bla... tak lama<br /><br /></div>Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/18266239886781897605noreply@blogger.com0