Selamat Datang di Kawasan Penyair Tanah Bumbu Terima Kasih Kunjungan Anda

Jumat, 29 April 2011

Muhammad Johansyah



Nama panggilan sehari-hari Johansyah, lahir di Murung Pudak, 13 September 1963.
Di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan Radio Swasta Gema Meratus Batulicin, disempatkan menulis puisi. Banyak puisi-puisinya yang masih cerai-berai akan dihimpun dalam antologi puisi.
Alamat di Jalan Raya Batulicin No. 03 RT. 13 Kecamatan Batulicin – Kabupaten Tanah Bumbu ( 72171 )
Telp / Hp 0813 4947 6102 Alamat email : rgm_fm@ymail.com

Takkan Bisa Jauh

Setiap apa yang kau katakan,
Setiap apa yang kau kisahkan,
Setiap apa yang kau berikan,
menjadi kenangan manis,
Bagaimana aku bisa melupakanmu,
Takkan pernah bisa,
Meski telah kucoba,
Aku luluh dalam kenangan itu !

Batulicin, 12-04-2011 ( Album Lembayung 7 )


Senyap Lenyap

Menyibak langit dengan warna senja,
Batas merah dan biru pecah,
Di sana hati menjelajah pesonamu yang menghilang,
Yang takkan sama hari ini,
Kemarin dan lusa,

Menyibak langit dengan warna senja,
Merah yang meredup adalah jiwaku yang ringkih,
Pada garis bumi dan langit,
Memisahkan kerinduan,
Merenggangkan siang berganti malam,

Menyibak langit dengan warna senja,
Biru yang tersisa samar mengendap – endap,
Mencari hasratku yang berselingkuh dengan asap batu,
Panas segenap rasa yang terus di baca,
Malam melonggarkan mantra di tepi jiwa,

Langit malam dingin mematah – matah rindu,
Tanpa rasa aku berjalan,
Tiada yang menanti,
Tiada yang menemani,
Aku tidak lagi menemukan apa – apa … hanya sunyi yang tertawa,

Batulicin, 12-04-2011 ( Album Lembayung 8 )


Refleksi Segunung Harapan
Huma di gunung,
Pecah – pecah tapak kaki perih luka,
Naik gunung turun gunung,
Meletakkan hidup di puncaknya,
Keseharian di lereng terjal,

Dan malam menutup petang,
Merah batas langit setelah hujan reda,
Dari atap balai titik air di tempurung menggema bunyi sahdu,
Anak beranjak belia dengan singkong rebus di tangan,
Mulut berjejal menggumpal sambil bertanya,
Apang … Umang, mahalkah sekolah itu,
Kalau mahal kenapa kawan – kawanku bisa sekolah,
Kapan aku bisa sekolah, Apang !
Umang, besok yaaa,
Hingga tak habis semua beban tanya menancap di pembuluh rasa,
Hingga tak habis keinginannya terucap bocah tertidur pulas,
Beralas lantai bambu “ paring ricihan “
Lembab menusuk tulang,
Tidur mendekap celengan bambu isinya tak seberapa,
Recehan dan ribuan kertas kumal – kumal,
Pemberian ayah sepulang menjual lanting ke kota,
Lewati jeram ganas batu dan “ Penanjak “ menghela maut,
Dan hidup bagai terhempas ke batu – batu,
Arus deras jeram Loksado tetap bangkitkan semangat,
Nyali Apang dan Umang mu takkan terhenti, nak !
Negeri kita ini kaya, nak !
Kapan kita bisa menikmatinya,
Nenek moyang kaya raya di kuras segelintir orang,
Hanya huma di gunung yang kami punya,
Tapak kaki bernanah terantuk runcing batu setiap hari,

Gunung adalah mata hati kami,
Jeram adalah urat nadi kami,
Angin adalah pesan kami,
Matahari adalah roh kami,
Dan kami tidak kaya raya,
Dan kami tidak beralas kaki,
Dan kami mengarungi jeram setiap hari,
Dan kami di belakang gunung – gunung dengan pendidikannya,
Dan kami anak – anak negeri,
Dan kami merayakan Hari Kartini seadanya,
Dan kami dengan baju kulit “ mandau “ turut berjuang,
Dan kami miris melihat ketimpangan,
Dan kami hanya bergantung pada harapan,
Dari Nenek moyang yang kaya raya,
Hidupilah negeri ini dengan rasa keadilan,
Hidupilah negeri ini dengan kepedulian,

Dan tangan kami mencengkram batu “ Benteng Madang “
Nafas kami giris dalam tangisnya di setiap malam,
Negeri ini tinggal sedikit lagi dari garis,
Negeri ini tidak sampai memetik rindu yang teramat dalam,
Negeri ini pada sunyi yang sesaat,
Menggapai dan mencapai ujungnya kemerdekaan.

Batulicin, 21-04-2011 ( Album Lembayung 17 dalam memperingati Hari Kartini )

Footnote :
~ Apang dan Umang ( Bhs. Dayak Loksado ) : Ayah dan Ibu.
~ Paring ricihan ( Bhs. Banjar ) : Bambu yg di belah kecil untuk lantai rumah, dll.
~ Penanjak ( Bhs. Banjar ) : Bambu kecil dan panjang untuk tongkat penghela kapal / lanting.
~ Mandau ( Bhs. Banjar ) : Senjata khas Suku Dayak.
~ Benteng Madang : Benteng peninggal sejarah di daerah Kandangan Kab. Hulu Sungai Selatan.


Telah Usai Pestamu

Setelah pesta usai,
Relung hatiku terasa lengang,
Setelah berhari – hari lelah di pijaki ribuan kaki,
Di coret,
Di garuk,
Di gali,
Di hamburkan ke udara,
Bayangkan betapa wajahku tidak berupa apa – apa,
Berupa memar saja,
Berupa perih saja,
Berupa sakit yang tak terobati,
Rasakan seperti yang aku rasakan,
Dan aku tak bisa menolak,
Aku hanya sebuah hamparan pantai,
Yang ingin selalu indah di pandang,
Yang ingin selalu senang menerima setiap orang,
Yang ingin menjadi tuan rumah yang baik,
Tapi apa lacur dikata,
Aku porak poranda dengan bercak – bercak luka,
Mengnganga perih yang dalam,
Jika aku ingin mengeluh pada siapa,
Jika aku ingin meng “aduh” pada siapa,
Jika aku begini untuk siapa,

Dan apabila kau datang lagi,
Tahun depan dengan cinta dan harapan,
Aku tetap menjadi hamparan pantai yang indah,
Aku hanya sebuah tempat untuk berbagi cerita,
Yang ingin selalu indah di pandang,
Yang ingin selalu senang menerima setiap orang,
Yang ingin menjadi tuan rumah yang baik,

Datanglah lagi jika rindu mu telah mendesak kalbu,
Aku selalu setia menanti dengan rindang pohon mangroveku,
Akan kunyanyikan lagu – lagu kenangan,
Seperti setahun kemarin kita bertemu,
Dan aku punya waktu berhias diri secantik pertama berjumpa denganmu,
Yang selalu ingin bernyanyi di pucuk – pucuk cemara pantai,
Untukmu selamanya pantaiku anggun mengukir senyum.

Batulicin, 24-04-2011
( Album Lembayung 21 Cinta yang tercecer sehabis Pesta Laut Mappanretasi )


Pesona Sawangi

Akar – akar bakau tenggelam air pasang keruh menguning,
Pulau Sawangi kerlip lampu kapal terombang – ambing,
Ada angin tersendat di muara sungai Batulicin,
Harum aroma batang – batang gaharu menebari senja,
Getah menetes di celah kabut malam merayapi tanah basah,
Batang – batang “ timbaran “ juntai ke air telaga,
Duri “ paikat “ menancap dedaunan kering meronta,
Gundah terselubung di hutan hijau pulau tak bertuan,

Penantian malam serasa lama di seberang,
Tebing – tebing batu penuh lubang sarang,
Burung wallet terbang menghinggapi rumah alam,
Sepi senyap landai di batu – batu hitam pantai,
Keindahan malam ini menguras pikiranku,
Pulau tak berpenghuni dilintasi ketenangan ombak dan lautan,
Hanya getaran pesona mengetuk jiwa di kesendirian,
Sendiri di pulau Sawangi di atas pijakan papan pelabuhan kecil,

Malam melabuhkan hati hening,
Malam mengajakku bersanding dengan harapan,
Lestarilah hingga kapanpun,
Esok aku akan datang memelukmu lagi,
Seperti rindu pada indahmu,
Pada ketegaranmu,
Pada keasrianmu,
Pada kearifan pelindungmu … Puang, penjaga hijau Pulau Sawangi !

Batulicin, 29-04-2011 ( Album Lembayung 23 )

Footnote :
~ Bakau = Pohon Mangrove.
~ Timbaran ( Bhs. Banjar ) = Tanaman perdu yang menjalar.
~ Paikat ( Bhs. Banjar ) = Rotan.
~ Pulau Sawangi = Adalah pulau kecil dalam wilayah Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Konon menurut cerita penduduk setempat, merupakan perwujudan se ekor ular sawa besar yang menyerupai naga. Alkisah pada zaman dahulu ular tersebut berkelahi dengan se ekor buaya. Karena kekuatan ular yang sangat tangguh, hingga buaya kalah dan terdampar di muara Sungai Batulicin. Dan akhirnya membentuk sebuah pulau yang di beri nama Sawangi.